Safety Story : Keselamatan Kerja Bukan Hanya Milik Pribadi Tapi Milik Bersama

Jadi seseorang Safety Officer bukanlah perkara gampang. Jadi seseorang yang perduli pada kesehatan serta keselamatan pekerja, seringkali saya jadi dipandang jadi pengganggu, si cerewet, bahkan juga penghalang sistem kerja mereka.

Di bagian beda, menggerakkan pekerjaan ini mengasyikkan. Membanggakan malah. Terlebih saat berhasil merubah langkah pandang pekerja yang terlanjur jelek pada segalanya berbau safety ; buat mereka sadar kalau keselamatan yaitu hal paling utama ditempat kerja.

Kamis lantas, hal seperti itu kembali saya alami.

Saat itu, saya tengah menginspeksi ruang kerja. Dari terlalu jauh saya lihat seseorang pekerja tengah lakukan pengelasan pada ketinggian. Semuanya APD terlihat telah dia gunakan, terkecuali Body Harness. Kekeliruan fatal untuk ukuran kerja pada ketinggian, pastinya.

Tanpa pikir panjang, aku langsung berjalan menghampirinya. Dengan sedikit teriakan disertai isyarat tangan, aku menyuruhnya turun. Pria tersebut manut.

Walau berada di satu area kerja yang sama, momen ini pastinya adalah ajang tatap muka langsung kami untuk pertama kali. Aku memang tidak mengurusi pekerja di wilayah ini. Pasalnya, kami beda kontraktor.

“Ada apa, ya?” tanya pria itu setelah membuka Face Shield yang menyelubungi kepalanya. Perawakannya ternyata tinggi besar. Rada-rada kekar dan berotot. Tipikal pria getol olahraga.

“Saya tadi lihat Anda enggak pakai Body Harness, padahal sedang bekerja di ketinggian. Tolong, nanti dipakai itu Body Harness-nya, Pak,” jawabku.

Tamat aku berujar demikian, air muka pria itu segera berubah. Dahinya mengernyit. Pandangnya menajam.

“Memangnya Anda siapa?” sahut pria itu dengan nada yang tiba-tiba meninggi.

Beberapa pekerja sekitar terlihat menoleh ke arah kami. Aku mengangguk sambil mengangkat telapak tangan kanan, mengisyaratkan bahwa tidak terjadi apa-apa antara aku dan pria di hadapanku itu.

“Saya Candra. Safety Officer,” balasku singkat.

Pria tersebut tidak terlihat gentar.

“Tapi saya belum pernah melihat Anda,” tukasnya dengan kasar.

“Iya, mungkin karena kita beda kontraktor, Pak” jawabku.

Tak kusangka, jawaban ini membuatnya gusar. Dihempaskannya Face Shield yang sedari tadi dipegang. Pun dengan sarung tangan.

“Kalau beda kontraktor, berarti apa yang ada di sini bukan urusan Anda,” jawabnya sambil melangkahkan kaki ke arahku. “Mau saya pakai Harness atau enggak, itu bukan urusan Anda!” tambahnya menekankan kemarahan.

Aku sempat tersentak oleh pernyataan itu. Namun, bagiku tugas Safety Officer adalah tugas kemanusiaan. Jadi, selama ada orang yang melakukan tindakan tidak aman, di sana lah aku merasa harus turun tangan.

“Tenang, Pak. Saya kan negur secara baik-baik,” jawabku sambil mengangkat kedua tangan.

“Sebaiknya Anda segera pergi dari sini,” hardik pria itu.

“Saya akan pergi setelah Anda mengenakan Body Harness,” jawabku.

“Eeeh… ngajak berantem ini orang!” timpal pria itu dengan nada lebih geram.

Pria tersebut mendekatkan lagi tubuhnya kemudian mendorongku secara kasar dengan kedua tangannya. Napasnya terlihat naik turun. Menahan amarah.

Dengan cepat tiga orang pekerja yang sedari tadi tampak memperhatikan kami menghampiri dan mencoba melerai. Satu orang segera menempatkan dirinya di tengah-tengah kami, mencoba memisahkan. Sementara dua orang lainnya menahan si pria kekar dari samping kiri dan kanannya.

“Ada apa ini, bapak-bapak?” tanya si pria yang berada di antara aku dan si pria kekar.

Si pria kekar menjawab menggebu, “Ini orang ribet amat sih, nih. Mending kalau orang sini. Padahal dia beda kontraktor tuh,” sergahnya.

“Pak, saya cuma mengingatkan. Dalam peraturan sudah jelas bahwa jika bekerja di atas ketinggian 1.8 meter, wajib hukumnya pakai Body Harness.” Jawabku. “lha ini, saya taksir Anda kerja di ketinggian lebih dari 2 meter. Jelas, sudah lebih dari wajib pakai Harness,” imbuhku.

“Anda boleh ngomong kayak gitu sama pekerja yang jadi tanggung jawab Anda. Saya kan bukan tanggung jawab Anda,” jawabnya sambil mengacungkan telunjuknya ke arah wajahku.

“Tenang! Tenang!” saran si pria pemisah kami.

“Di sini juga ada pengawasnya, Pak. Jangan seenaknya!” tambah si pria kekar.

Aku sama sekali tidak heran dengan kelakuan pria itu. Pekerja yang ngeyel memang sudah biasa aku hadapi. Walaupun yang mirip si pria kekar ini memang baru aku jumpai kali ini.

“Baiklah, Pak…” aku kembali bersuara.

“Secara struktural, saya memang tidak bertanggung jawab pada Anda. Tapi, sebagai manusia yang kebetulan dititipi jabatan sebagai Safety Officer, saya merasa ikut bertanggung jawab terhadap keselamatan nyawa Anda,” ucapku dengan tenang.

 

Saya coba hampiri pria kekar itu serta memohon kedua orang yang sejak dari barusan memeganginya untuk melepaskannya.

” Lebih dari itu, saya juga terasa bertanggungjawab untuk penuhi keinginan keluarga Kamu dirumah yang senantiasa menginginkan Kamu untuk pulang dengan selamat, ” tandasku.

“Anda mesti tahu, begitu berharganya keselamatan Kamu untuk beberapa orang terkasih, ” tutupku.

Situasi hening. Si pria kekar tidak menimpal. Ke-3 partnernya juga tidak ada yang mulai bicara. Saya berlalu meninggalkan mereka.

Mendekati jam pulang, dia mendatangiku serta mohon maaf. Pria itu menyebutkan kalau waktu mendengar keteranganku, dia segera teringat pada istrinya dirumah yang tengah hamil anak ke-dua. Waktu itu dia mengerti kalau keselamatan kerja tidak cuma kepunyaannya. Namun juga orang yang mencinta serta dicinta olehnya.